Aku ingin begini, aku ingin begitu.
Ingin ini ingin itu, banyak sekali...
Semua semua semua, dapat dikabulkan.
Dapat dikabulkan oleh "kantong ajaib"...

Aku akan selalu ingat lagu itu. Doraemon. Robot kucing bisa ngomong tapi takut tikus itu menyapaku dan anak kecil lainnya setiap minggu. Aku ingat rasanya iri kepada Nobita karena dia selalu bisa mendapatkan keinginannya. Aku tidak seberuntung dia. Karena mungkin waktu itu aku tidak punya Doraemon, tidak punya kantong ajaib.

Setelah menyadari kalau Doraemon itu ada di Jepang beberapa tahun kemudian. Pupuslah harapanku untuk memiliki kantong ajaib. Aku lalu belajar menjadikan orang tuaku menjadi tempat mewujudkan keinginanku. Tidak semuanya dikabulkan memang. Tapi ayah memberiku Nitendo yang kuminta waktu ulangtahunku ke sepuluh. Tapi ketika aku ingin jadi dokter, ayah berkata kalau itu hanya bisa diwujudkan oleh diriku sendiri, beliau hanya berpesan "Mintalah pada Tuhan, dan belajar yang rajin".

Sejak saat itu, setiap kali ayah menolak permintaanku, diam diam aku meminta pada Tuhan. Aku belum begitu mengenalnya, yang kudengar Dia pasti mengabulkan permintaaku. Jadi aku tidak menyia-nyiakannya. Aku meminta in-line-skate, komik Dragon Ball, helm Satria Baja Hitam, pesawat Power Rangers, kapak Naga Geni 212 dan banyak lagi. Ayah sering tersenyum melihatku khusyuk berdoa, kurasa beliau mengira aku mendoakannya.

Aku selalu setia menunggu Tuhan mengabulkan permintaanku. Aku tahu dia sangat sibuk. Karena beberapa kali aku mendengar teman ngajiku di TPA meminta apa yang juga kuminta. Aku tahu Tuhan suka orang bersabar. Jadi aku bersabar sambil meminta hal lain. Sekian lama berlalu, aku tetap bersabar dan mulai lupa dengan permintaanku.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Ga jin, ga manusia, matre kabeh!"

Aku tersenyum melihat iklan salah satu produsen rokok itu. Sudah beberapa kali aku melihatnya. Dan iklan itu berhasil membuatku tertawa sekaligus tersindir setiap kalinya. Aku tak tahu berapa banyak orang yang merasa tersindir bersamaku. Tapi aku yakin pasti banyak, banyak sekali.

Aku pun memejamkan mata, dua puluh lima tahun telah mengajarkan aku untuk belajar bahwa keinginanku terlalu banyak untuk dikabulkan. Aku cuma bisa mengucap lirih, "Tuhan, Kau tahu yang kumau, kabulkanlah. amin".